MAKALAH IBADAH, AKHLAK, DAN MUAMALAH
IBADAH
Pengampu :
Yusmaniar Nur Aini, M.Pd. I.
Oleh :
1.
Luvi Novalina ( 1601070021 )
2.
Ratna Kartikaningrum ( 1601070005 )
3.
Rizki Nurhikmah ( 1601070015 )
4.
Tiara Sukma
Maharani ( 1601070023 )
Kelompok : 1
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah mengenai “IBADAH” ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Sholawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata
Kuliah dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyeselesaikan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb
Purwokerto, 14 September 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.
Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A.
Konsep Ibadah.......................................................................................... 3
B.
Ibadah Mahdah
dan Ghairu Mahdah........................................................ 12
C.
Fungsi dan
Hikmah Ibadah....................................................................... 15
D.
Makna Spiritual
Ibadah Bagi Kehidupan Sosial....................................... 17
BAB III PENUTUP 20
A.
Kesimpulan................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibadah merupakan bentuk penyembahan manusia terhadap
Allah SWT. Dari ibadah dapat dilihat seberapa bersyukurnya seriap hamba,
manusia tidak dapat dipisahkan dengan penciptanya. Di dunia manusia tidak hidup
tanpa manusia yang lain maksudnya adalah manusia adalah makhluk sosial. Sering
kali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar
menjalankan rutinitas hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan
puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian
kepada Tauhid terlebih dahulu. Karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa
memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat
dijelaskan bahwa “ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan
kepatuhan.”(Tannbihaat Mukhtasharah, hal 28)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
“Ibadah adalah suatu istilah yang mencangkup segala sesuatu yang dicintai Allah
dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi
(batin) maupun yang nampak (lahir).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
konsep ibadah ?
2.
Apa
saja macam-macam ibadah ?
3.
Apa
fungsi dan hikmah dari ibadah ?
4.
Bagaimana makna
spiritual ibadah bagi kehidupan sosial ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui konsep ibadah
2.
Untuk
mengetahui macam-macam ibadah
3.
Untuk
mengetahui fungsi dan makna ibadah
4.
Untuk
mengetahui makna spiritual ibadah bagi kehidupan sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Ibadah
1.
Pengertian
Ibadah
Secara bahasa, kata
ibadah berasal dari bahasa arab al-abdiyyah, al-‘ubudiyyah, dan
al-‘ibadah yang berarti ketaatan. Kata al-‘ubudiyyah identik dengan
kata al-khudhu dan adz-dzull yang berarti ketundukan dan kehinaan ( Yusuf Al
Qaradhawi, 2005 ). Oleh karena itu, kata at-ta’bid yang berarti menundukkan
diri sama dengan kata at-tadzlil yang bermakna merendahkan diri dihadapan
Allah. Kata al-‘ibadah juga memiliki persamaan makna dengan kata khudhu, dan
tadzallul. Ibadah merupakan suatu bentuk ketundukan kepada Allah yang memberi
nikmat dan anugerah tertinggi kepada manusia.
Sedangkan menurut
terminologi syariat, Muhammad Abduh menafsirkan ibadah sebagai suatu bentuk
ketundukkan dan ketaatan sebagai dampak dari rasa pengagungan yang bersemai
didalam lubuk hati seseorang terhadap siapa yang menjadi tujuan ketundukannya.
Rasa itu lahir akibat adanya keyakinan dalam diri orang yang bersangkutan bahwa
objek tujuan ibadahnya memiliki kekuasaan yang tak dapat dijangkau oleh sesuatu
yang lain.
Perintah Allah dan
Rasul-Nya ini hendaklah ditunaikan dengan perasaan penuh kasih dan cinta kepada
Allah SWT, bukan karena terpaksa atau karena yang lain. Sebagaimana firman
Allah SWT sebagai berikut :
Para Nabi dan Rasul
merupakan hamba Allah yang terbaik dan senantiasa melaksanakan ibadah dengan
penuh kesempurnaan dari setiap arahan Tuhannya. Mereka patuhi dengan penuh
perasaan cinta dan kasih serta mengharap keridhoan dari Tuhannya. Mereka
menjadi contoh tauladan yang paling baik kepada kita semua dalam setiap
pekerjaan dan amalan sebagaimana yang dianjurkan oleh Al-Qur’an.
Sebagian ulama mengatakan, ibadah adalah :”
Nama yang menerangkan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah,
baik berupa perkataan, perbuatan yang tampak dan yang tidak tampak, serta
membebaskan diri dari segala sesuatu yang bertentangan dan menyalahinya.”
Ibadah merupakan bagian
integral dari syariah, apapun ibadah yang dilakukan oleh manusia harus
bersumber dari syariah Allah. Semua ibadah yang tidak didasari oleh syariah
berarti bid’ah, ibadah semacam ini tidak saja ditolak tapi lebih dari itu,
tindakan tersebut merupaka dosa.
Ibadah tidak hanya
sebatas pada menjalankan rukun islam, tetapi ibadah juga berlaku pada semua
aktivitas duniawi yang didasari rasa ikhlas. Oleh karena itu ibadah terdapat
dua klasifikasi yaitu, ibadah khusus ( khas ) dan umum ( ‘amm ). Ibadah dalam
arti khusus adalah ibadah yang berkaitan dengan arkan al-islam, seperti
syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan ibadah dalam arti umum
adalah segala aktivitas yang titik tolaknya ikhlas yang ditunjukkan untuk
mencapai ridho Allah berupa amal saleh.
2.
Rukun Ibadah
Berdasarkan
dalil-dalil yang ada di Al-Qur’an maupun Hadits ibadah memiliki rukun-rukun
yang ia terbangun diatasnya. Tidaklah suatu amalan yang diperintahkan menjadi
sebuah ibadah bila ia tidak dibangun diatas rukun-rukunnya. Rukun-rukun ibadah
menurut manhaj ( jalan ) Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada tiga, yaitu :
a)
Al-Hubb ( Cinta
)
Ibadah dari asal maknanya bisa berarti
menghinakan diri. Dan ia selain mengandung makna penghinaan diri dihadapan
Allah SWT juga mengandung Al-Hubb ( cinta ) yang tinggi kepada-Nya. Dengan
kecintaan yang tinggi disertai penghinaan yang sempurna kepada Allah SWT,
seorang hamba akan sampai pada penghambaan diri kepada-Nya SWT, sebab puncak
dari Al-Hubb adalah At-Tayyamum ( penghambaan ). Sehingga tidak akan tebangun
penghambaan diri kepada Allah SWT kecuali dengan terkumpulnya keduanya
sekaligus, yaitu cinta dan penghinaan diri.
b)
Al-Khouf (
Takut )
Ia merupakan peribadahan hati dan
rukun ibadah yang agung yang mana keikhlasan seseorang dalam beragama bagi
Allah SWT. Sebagaimana yang telah Allah perintahkan kepada hamba-Nya tidak akan lurus kecuali
dengan bantuan-Nya. Khouf ialah kegundahan hati akan terjadinya sesuatu yang
tidak disuka berupa hukuman dan adzab Allah SWT yang mneimbulkan sikap
penghambaan dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya.
c)
Ar-Roja (
Berharap )
Ia
juga merupakan peribadahan hati dan rukun ibadah yang sangat agung. Ialah
harapan yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala dari Allah SWT yang
menyertai ketundukan dan penghinaan diri kepada-Nya.
Maka, ibadah yang telah Allah fardhukan
kepada hamba-Nya harus terdapat tiga rukun tersebut agar menjadi ibadah yang
sempurna. Peribadahan kepada Allah SWT harus disertai ketundukan dan kecintaan
yang sempurna serta rasa takut dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat
dalam sebuah amalan maka ia benar-benar bermakna ibadah. Didalam Al-Qur’an
Allah telah menyebutkan
rukun-rukun ibadah itu ketika menyifati
peribadahan para Nabi dengan firman-Nya yang artinya sebagai berikut :
“...Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam ( mengerjakan )
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada kami dengan harap (
atas rahmat Allah ) dan cemas ( akan adzab-Nya ). Dan mereka adalah orang-orang
yang khusyu kepada kami.” ( Q.S Al-Anbiya
: 90 )
3.
Syarat Ibadah
Syarat diterimanya ibadah oleh Allah SWT dalam konsep risalah
islam :
1.
Ikhlas
Ibadah dilakukan secara ikhlas
dengan kesadaran diri sendiri dan ikhlas semata-mata karena Allah SWT, bukan
karena ingin dipuji ataupun dipaksa. Sebagaimana dalam firman Allah sebagai
berikut :
Artinya
:
“Padahal
mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan
mengikhlaskan ibadah kepada-Nya, lagi tetap teguhdi atas tauhid; dan supaya
mereka mendirikan shalat serta memberi zakat. Dan yang demikian itulah Agama
yang benar “(QS.
Al-Bayyinah:5).
Artinya
:
“Katakanlah,
sesungguhnya shalatku, Ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah
Pemelihara alam semesta.”
(QS. AL-An’am:162).
2.
Ilmu
Ibadah yang dilakukan disertai
ilmunya. Sebagaimana dalam firman Allah SWT sebagai berikut :
Artinya
:
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungkan jawabnya”
(QS. Al-Israa’:36).
3.
Sunah
Tata cara Ibadah harus sesuai dengan
tuntunan Allah dan Rasul-Nya dan sahabatnya.
“Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari, dari Malik bin
Al-Huwairits).
“Barang
siapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami ini yang tidak ada tuntunan
(islam) di dalamnya maka di tolak.” (Muttafaq’alayh).
4.
Prinsip Ibadah
Untuk memberikan pedoman ibadah yang
bersifat final, Islam memberikan prinsip-prinsip ibadah sebagai berikut :
a.
Prinsip utama
dalam ibadah adalah hanya menyembah kepada Allah semata sebagai wujud hanya
mengesakan Allah SWT. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
Artinya :
“Hanya
kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami minta pertolongan”. (Q.S Al-Fatihah : 5 )
Artinya :
“Dan
sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu
apapun...”. ( Q.S An-nisa : 36 )
Lawan tauhid adalah syirik ( mempersekutukan
Allah ) yang merupakan dosa terbesar diantara dosa-dosa besar lainnya.
b.
Tanpa
perantara. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
Artinya :
“Dan
apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
“Sesungguhnya Aku sangatlah dekat.” Aku kabulkan permohonan (do’a) orang yang
berdo’a apabila ia memohon kepadKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka selalu mendapat
bimbingan.” ( Q.S Al-Baqarah : 186 )
Artinya :
“Dan
sungguh benar-benar Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami sangat dekat daripada urat lehernya.” ( Q.S Qaf : 16 )
Oleh karena Allah SWT berada sangat
dekat dengan hamba-hambaNya dan Maha Mengetahui segala apa yang dilakukan oleh
hamba-Nya, maka dalam berdo’a harus langsung dimohonkan kepada Allah dan tidak
melalui perantara siapapun dan apapun juga.
c.
Harus ikhlas
yakni murni hanya mengharap ridha Allah SWT. Keikhlasan harus ada dalam seluruh
ibadah, karena keikhlasan inilah jiwa dari ibadah. Tanpa keikhlasan, maka tidak
mungkin ada ibadah yang sesungguhnya. Allah SWT berfirman :
|
Artinya :
“Dan tidaklah
mereka diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya ( dalam ) menjalankan agama yang lurus.” ( Q.S Al-Bayyinah : 5 )
d.
Harus sesuai
dengan tuntutan. Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Barangsiapa yang mengharapkan
pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal shaleh dan ia jangan
mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”. ( Q.S Al-Kahfi : 110 )
Arti kata shalih
adalah baik karena sesuai. Seseorang dikatakan beramal shaleh bila dalam
beribadah kepada Allah sesuai dengan cara yang disyariatkan Allah melalu para
Nabi-Nya, bukan dengan cara yang dibuat oleh manusia sendiri.
Nabi Muhammad SAW
telah mengajarkan tentang tata cara shalat secara lengkap melalui
hadits-haditsnya yang maqbul, dari sejak niat yang tidak dihafalkan, bacaan dan
gerakan sholat, jumlah raka’at, waktu sholat, dan lain-lain. Dalam masalah
ibadah mahdah ( khusus ) yang jelas-jelas sudah ada keterangan dari Allah dan
Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi manusia yang boleh masuk didalamnya.
e.
Seimbang antara
unsur jasmani dan rohani. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
Artinya :
“Dan
carilah apa yang Allah berikan kepadamu berupa ( kebahagiaan ) negeri akhirat,
namun jangan kamu lupa bahagianmu ( nasibmu ) dari ( kenikmatan ) dunia ...”. ( Q.S Al-Qashash : 77 )
f.
Mudah dan
meringankan. Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Allah tidak
membebani seorang manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya.” ( Q.S Al-Baqarah : 286 )
Syariat yang diciptakan Allah SWT
mesti sudah sesuai dengan porsi kemanusiaan manusia. Hal ini karena Allah
sebagai
pencipta alam semesta termasuk manusia,
tentunya paling tahu tentang ciptaan-Nya dan segala keterbatasan yang dimiliki
ciptaan-Nya, sehingga dalam keadaan yang tidak normal yakni : membahayakan,
menyulitkan, atau tidak memungkinkan. Maka selalu ada jalan keluar berupa
keringanan atau ruskhah yang ditawarkan Allah dalam syariat-Nya.
B.
Ibadah Mahdah
dan Ghairu Mahdah
Secara umum, ibadah terbagi menjadi dua;
yakni ibadah mahdhah (langsung kepada Allah) dan ghairu mahdhah (tidak langsung
kepada Allah).
1.
Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah
yang berupa pengabdian langsung kepada Allah. Segala bentuk aktifitas ibadah
berupa cara, waktu dan kadarnya telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya
seperti shalat, puasa, dan haji. Seseorang tidak akan mengetahui ibadah ini
kecuali melalui penjelasan Allah dalam Al-Qur’an atau penjelasan Rasulullah
sebagaimana di dalam Sunnah beliau.
Syarat
ibadah mahdhah :
a.
Ikhlas
b.
Benar / sesuai dengan
sunnah Rasulullah
Agar amal ibadah kita diterima oleh
Allah SWT maka amal itu harus ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah amal
yang dilakukan dengan niat murni untuk mendapat ridha Allah, bukan untuk
mendapat ridha atau pamrih dari selain Allah. Amal yang benar adalah amal yang
sesuai dengan sunnah Rasulullah.
Tatacara pelaksanaan ibadah mahdhah
harus mengikuti sedemikian rupa seperti yang diajarkan Nabi, tak boleh menambah
dan tak boleh mengurangi. Pada Shalat Misalkan, Rasulullah telah mengajarkan
dan mencontohkan pengerjaan shalat Maghrib sebanyak tiga rakaat. Maka
umatnya tidak boleh menambah dan juga tidak
boleh mengurangi jumlah bilangan rakaatnya. Demikian juga dengan haji dan
puasa.
Ibnu Taimiyah menambahkan bahwa
hendaknya suatu ibadah terutama menyangkut ibadah ghairu mahdhah itu dikerjakan
diatas tiga landasan, yakni hubb (cinta),
khauf (takut), serta raja’ (harapan).
Berkenaan dengan hal tersebut, Allah
SWT befirman :
Artinya :
“Orang-orang yang beriman amat sangat cinta
kepada Allah. Seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Q.S
al-baqarah [2]: 165)
Menurut Imam Ali, orang yang menyembah
Allah terbagi kedalam tiga tipe:
a)
Orang yang beribadah
karena mengharapkan balasan. Ibadahnya merupakan investasi masa depan. Semakin
banyak ia menjalankan ritual-ritual keagamaan, semakin banyak pula imbalan yang
akan didapatkannya. Imam Ali menyebutnya sebagai ibadah para pedagang,
pebisnis,
b)
Orang yang menyembah
Allah karena takut terhadap siksa-Nya. Ibadahnya laksana pengabdian seorang
budak terhadap tuannya. Ia melakukan sesuatu lantaran khawatir akan murka sang
tuan. Ia membayangkan Allah ibarat Sang Pemurka yang siap menghukumi
hamba-Nya yang
mengabaikan perintah-Nya. Kata Ali, orang tipe ini biasanya beribadah semata
untuk menggugurkan kewajiban.
c)
Orang beribadah karena ia
sadar memang seharusnya beribadah. Imam Ali menyebutnya sebagai ibadahnya orang
yang merdeka. Ibadah yang dihiasi dengan penuh cinta serta ketulusan. Ketulusan
cinta itu muncul dari rasa syukur dan terima kasih yang mendalam. Ibadah
benar-benar menjadi penjelmaan dan ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada
Allah Sang Pemberi Kehidupan.
2.
Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah
ghairu mahdhah adalah semua perbuatan yang bermanfaat untuk sesama manusia dan
lingkungannya, yang diniatkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ibadah ghairu
mahdhah tata caranya tidak ditentukan oleh Allah. Hal ini menyangkut segala
macam amal kebaikan yang di ridhai Allah baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Bahkan sekedar baru berniat saja sudah dianggap ibadah dan mendapat
pahala dari Allah. Ibadah pada aspek ini cakupannya sangat luas. Contoh ibadah
ghairu mahdhah adalah bekerja, belajar, berinfak, menyantuni anak yatim,
membantu orang lain, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua,
menyambung silaturahmi, menepati janji, menyuruh kepada kebaikan seraya
mencegah kemungkaran, menjaga lingkungan dan masih banyak lagi mencakup seluruh
aktifitas manusia yang diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT
selama apa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Allah.
Sabda Nabi Muhammad SAW menjelaskan :
Sesungguhnya tidaklah engkau memberikan
nafkah yang dengannya engkau mengharapkan keridhaan Allah, kecuali engkau akan
mendapatkan pahala atasnya. Sampai sesuatu yang engkau berikan pada mulut
istrimu (Shahih Bukhari, 1/56).
Prinsip praktik ibadah ini yaitu
tidak ada dalil yang melarangnya serta pelaksanaannya diniatkan untuk beribadah
kepada Allah. Ibadah
ghairu mahdhah membutuhkan dua hal, yakni
cinta kepada Allah dan ketundukan dan
taat kepada Allah.
C.
Fungsi dan
Hikmah Ibadah
1. Fungsi
Ibadah
Ada tiga aspek fungsi ibadah dalam Islam :
a) Mewujudkan
hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Mewujudkan hubungan antara manusia
dengan Tuhannya dapat dilakukan melalui “muqorobah” dan “khudlu”. Orang yang
beriman dirinya akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Ia akan selalu berupaya
menyesuaikan segala perilakunya dengan ketentuan Allah SWT. Dengan sikap itu
seseorang muslim tidak akan melupakan kewajibannya untuk beribadah, bertaubat,
serta menyandarkan segala kebutuhannya pada pertolongan Allah SWT. Demikianlah
ikrar seorang muslim seperti tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Fatihah ayat 5
“Hanya Engkaulah yang
Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” Atas
landasan itulah manusia akan terbebas dari penghambaan terhadap manusia, harta
benda dan hawa nafsu.
b) Mendidik
mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya. Dengan sikap ini, setiap
manusia tidak akan lupa bahwa dia adalah anggota masyarakat yang mempunyai hak
dan kewajiban untuk menerima dan memberi nasihat. Oleh karena itu, banyak ayat
Al-Qur’an ketika berbicara tentang fungsi ibadah menyebutkan juga dampaknya
terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat. Contohnya: ketika Al-Qur’an
berbicara tentang shalat, ia menjelaskan fungsinya: “Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Qur’an dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamannya dari ibadah-ibadah yang
lain, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ketika Al-Qur’an berbicara tentang zakat, Al-Qur’an juga
menjelaskan fungsinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka serta mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka, dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” Dan masih banyak ibadah-ibadah lain
yang tujuannya tidak hanya baik bagi diri pelakunya tetapi juga membawa dampak
sosial yang baik bagi masyarakat. Karena itu Allah tidak akan menerima semua
bentuk ibadah, kecuali ibadah tersebut membawa kebaikan bagi dirinya dan orang
lain. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
“Barang
siapa yang sholatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar,
maka dia hanya akan bertambah jauh dari Allah” (HR. Thabrani)
c) Melatih
diri untuk berdisiplin adalah suatu kenyataan bahwa segala bentuk ibadah
menuntut kita untuk berdisiplin. Kenyataan itu dapat dilihat dengan jelas dalam
pelaksanaan shalat, mulai dari wudhu, ketentuan waktunya, berdiri, ruku, sujud
dan aturan-aturan lainnya, mengajarkan kita untuk berdisiplin. Apabila kita
menganiaya sesama muslim, menyakiti manusia baik dengan perkataan maupun
perbuatan, tidak mau membantu kesulitan sesama manusia, menumpuk harta dan
tidak menyalurkannya kepada yang berhak. Tidak mau melakukan “amar ma’ruf nahi
munkar”, maka ibadahnya tidak bermanfaat dan tidak bisa menyelamatkannya dari
siksa Allah SWT.
2. Hikmah
Ibadah
a) Tidak
syirik
Seorang hamba yang sudah berketetapan
hati untuk senantiasa beribadah menyembah kepada Nya, maka ia harus
meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah mengetahui segala sifat-sifat yang
dimiliki Nya adalah lebih besar dari segala yang ada, sehingga tidak ada wujud
lain yang dapat mengungguli-Nya.
b) Memiliki
ketakwaan
Ketakwaan yang di landasi cinta timbul karena ibadah yang di
lakukan manusia setelah merasakan kemurahan dan keindahan Nya muncullah
dorongan untuk beribadah kepada-Nya. Sedangkan ketakwaan yang di landasi rasa
takut timbl karena manusia menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban
bukan sebagai kebutuhan. Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu
kewajiban ada kalanya muncul ketidak ikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan
balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankan kewajiban.
c) Terhindar
dari kemaksiatan
Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat
menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa
dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang
harus selalu dipakai dimanapun manusia berada.
d) Berjiwa
sosial, artinya ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan
keadaan lingkungan sekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari
ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia
merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan oleh orang-orang yang kekurangan.
Sehingga mendorong hamba tersebut lebih memperhatikan orang lain.
e) Tidak
kikir, harta ang dimiliki manusia pada dasarnya bukan muliknya tetapi milik
Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena
kecintaan manusia yang begitu besar terhadap keduniawian menjadikan dia lupa
dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT,
senantiasa menafkahi hartanya di jalan Allah SWT. Ia menyadari bahwa miliknya
adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluannya semata-mata
sebagai bekal di akhirat yang di wujudkan dalam bentuk pengorbanan harta untuk
keperluan umat.
D.
Makna Spiritual
Ibadah Bagi Kehidupan Sosial
Ibadah memiliki dimensi keakhiratan sekaligus
keduniawian. Ibadah dalam ajaran Islam tidak hanya dimaksudkan dalam kerangka
hubungan
dengan
Allah semata, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang tinggi bagi para
pemeluknya. Semua bentuk ibadah memiliki makna sosialnya masing-masing
sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
ibadah shalat. Kandungan sosial dari ibadah shalat adalah bahwa shalat
mengajarkan makna persaudaraan dan persatuan manusia yang begitu tinggi. Ketika
melaksanakan shalat di masjid lima kali dalam sehari, maka sesungguhnya ibadah
tersebut tengah menghimpun penduduknya lima kali sehari. Dalam aktivitas
tersebut, mereka saling mengenal, saling berkomunikasi, dan saling menyatukan
hati. Mereka shalat dibelakang seorang imam, mengadu kepada Tuhan yang satu,
membaca kitab yang sama, serta menghadap kiblat yang sama. Mereka juga
melakukan amalan yang sama yakni sujud, ruku, dan sebagainya. Allah berfirman
dalam surat Al-Hujurat ayat 10:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu ( yang berselisih ) dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” ( Q.S Al-Hujurat:10).
Kedua,
ibadah puasa. Puasa mampu menumbuhkan kepekaan sosial bagi pelakunya. Dengan
berpuasa, si kaya merasakan betapa tidak enaknya merasakan lapar. Puasa
mengajarkan kepadanya untuk bisa mengenali serta merasakan penderitaan orang
yang sehari-hari senantiasa berada dalam kekurangan dan berbalut kemiskinan.
Kemudian puasa diakhiri dengan membayar zakat fitrah yang memaksa seseorang
untuk berderma, sekalipun mungkin hatinya belum sadar ini akan menjadi latihan
dan pembinaan tersendiri bagi orang yang besangkutan untuk menjadi orang yang
dermawan dan peduli terhadap orang-orang yang lemah.
Ketiga,
ibadah zakat. Ibadah zakat memiliki fungsi dan hikmah ganda. Secara individu
zakat mengandung hikmah untuk membersihkan dan menyucikan diri beserta harta
bendanya. Dengan begitu, zakat melatih manusia menghilangkan sifat kikir,
rakus, tamak yang melekat pada dirinya. Zakat menjadi tanda kedermawanan,
solidaritas, dan kasih sayang seorang muslim terhadap saudara-saudaranya agar
bisa ikut merasakan rezeki sebagai karunia Allah SWT.
Keempat,
ibadah haji. Dalam ibadah haji terkandung pengalaman nilai-nilai kemanusiaan
yang universal. Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian
biasa dan kemudian mengenakan pakaian ihram. Dengan mengenakan pakaian ihram
pada saat haji, manusia diajarkan untuk menanggalkan perbedaan status sosial
yang mereka sandang dan bersatu dalam persamaan dan persaudaraan. Pada saat
melaksanakan ihram, seseorang dilarang menyakiti binatang, dilarang membunuh,
menumpahkan darah, serta dilarang mencabut pepohonan.
Maknanya
manusia harus menerapkan apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadist
ke dalam kehidupan sosial.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Secara bahasa,
kata ibadah berasal dari bahasa arab al-abdiyyah, al-‘ubudiyyah, dan
al-‘ibadah yang berarti ketaatan. Kata al-‘ubudiyyah identik dengan
kata al-khudhu dan adz-dzull yang berarti ketundukan dan kehinaan.
2.
Sedangkan
menurut terminologi syariat, Muhammad Abduh menafsirkan ibadah sebagai suatu
bentuk ketundukkan dan ketaatan sebagai dampak dari rasa pengagungan yang
bersemai didalam lubuk hati seseorang terhadap siapa yang menjadi tujuan
ketundukannya.
3.
Rukun ibadah
ada tiga yaitu : Al-Hubb
( Cinta ), Al-Khouf
( Takut ), dan Ar-Roja ( Berharap ).
4.
Syarat ibadah
ada tiga yaitu : ikhlas, ilmu, dan sunnah.
5.
Prinsip dalam
beribadah antara lain :
a)
Hanya menyembah
kepada Allah semata sebagai wujud hanya mengesakan Allah SWT.
b)
Tanpa
perantara.
c)
Harus ikhlas
d)
Harus sesuai
dengan tuntutan.
e)
Seimbang antara
unsur jasmani dan rohani.
f)
Mudah dan
meringankan
6.
Fungsi ibadah :
a)
Mewujudkan
hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Mewujudkan hubungan antara manusia
dengan Tuhannya dapat dilakukan melalui “muqorobah” dan “khudlu”.
b)
Mendidik mental
dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya.
c)
Melatih diri
untuk berdisiplin adalah suatu kenyataan bahwa segala bentuk ibadah menuntut
kita untuk berdisiplin.
7.
Dengan
beribadah kita akan mendapat hikmah berupa kita tidak menjadi syirik, tidak
kikir, memiliki ketakwaan, terhindar dari kemaksiatan, dan berjiwa sosial.
8.
Kandungan sosial
dari ibadah shalat adalah bahwa shalat mengajarkan makna persaudaraan dan
persatuan manusia yang begitu tinggi.
9.
Puasa mampu
menumbuhkan kepekaan sosial bagi pelakunya. Dengan berpuasa, si kaya merasakan
betapa tidak enaknya merasakan lapar.
10.
Ibadah zakat
memiliki fungsi dan hikmah ganda. Secara individu zakat mengandung hikmah untuk
membersihkan dan menyucikan diri beserta harta bendanya.
11.
Dalam ibadah
haji terkandung pengalaman nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Ibadah haji
dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan kemudian mengenakan
pakaian ihram.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim.
1998. Pengantar Studi Aqidah Islam. Robbani Press : Jakarta
Razak,
Yusron, dkk. 2011. Pendidikan Agama. Uhamka Press : Jakarta
Hatta,
Ahmad. 2013. Bimbingan Islam untuk Hidup Muslim. Maghfirah Pustaka :
Jakarta
Muhaimin,
dkk. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Kencana : Jakarta
Jamaluddin, Syakir. 2010. Kuliah Fiqih Ibadah. LPPI UMY :
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar